LAPORAN
PRAKTIKUM
FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
(AGT324)
SEMESTER GENAP TAHUN 2010/2011
OLEH
NAMA : Sugiarto
NIM : A1L008073
KELAS : B
ROMBONGAN : 10
LABORATORIUM
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JENDRAL SOEDIRMAN
APRIL 2011
LAPORAN
PRAKTIKUM
FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
ACARA 1
PENGERINGAN PRODUK PASCA PANEN
OLEH
NAMA : Nanang Yulianto
NIM : A1L008058
KELAS : B
ROMBONGAN : 10
LABORATORIUM
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JENDRAL SOEDIRMAN
APRIL 2011
Nama
acara praktikum : PENGERINGAN
PRUDUK PASCA PANEN
Nama
mahasiswa : NANANG YULIANTO
NIM :
A1L008063
Kelas : B
Rombongan : 10
A.
PENDAHULUAN
Produk hortikultura yaitu buah dan sayuran segar sepuluh tahun belakangan
ini mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena kesadaran akan manfaat
nilai nutrisinya bagi kesehatan. Banyak publikasi yang menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi
buah dan sayuran sebagai salah satu komponen utama makanan akan dapat
memperlambat atau menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif. Perhatian
terhadap kegemukan dan penyakit jantung koroner mengarahkan promosi terhadap
pengurangan konsumsi lemak dan merekomendasikan untuk mengkonsumsi buah dan
sayuran yang umumnya rendah akan lemak. Kandungan serat yang tinggi pada buah
dan sayuran dipandang dapat mengurangi atau mencegah kondisi medis yang kurang
baik. Disamping itu, status buah dan sayuran segar sangat diuntungkan dari
kecenderungan internasional yang mengarah pada makanan alami-segar yang
dipandang lebih baik dibandingkan dengan makanan olahan yang cenderung
mengandung bahan kimia tambahan.
Produk
pascapanen hortikultura segar juga sangat mudah mengalami kerusakan kerusakan fisik
akibat berbagai penanganan yang dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi karena
secara fisik-morfologis, produk hortikultura segar mengandung air tinggi
(85-98%) sehingga benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat
menyebabkan kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat
tidak terlihat pada saat aktifitas fisik tersebut terjadi. Biasanya, untuk
kerusakan kedua tersebut baru terlihat setelah beberapa hari. Kerusakan fisik
ini menjadi entry point yang baik sekali bagi khususnya mikroorganisme
pembusuk dan sering menyebabkan nilai susut yang tinggi bila cara pencegahan
dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan dengan baik. Saat panen,
produk segar telah dilabui oleh beragam macam mikroorganisme di bagian permukaan
produk dan dapat pula berada di dalamnya. Mikroorganisme patogenik yang berada
di dalam produk dapat belum berkembang selama pertumbuhan bagian yang dipanen
masih berada pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan perkembangan
setelah panen (infeksi laten). Mikroorganisme yang melabuhi permukaan produk
beragam mulai dari yang saprofit dan patogenik. Bila terjadi kerusakan mekanis
ataupun kemunduran fisiologis pada produk, maka mikroorganisme patogenik akan
tumbuh dan berkembang menyebabkan pembusukan.
Hal yang penting untuk dipahami adalah produk pascapanen buah dan
sayuran segar apapun bentuknya masih melakukan aktivitas metabolisme penting
yaitu respirasi. Aktivitas respirasi berlangsung untuk memperoleh energi yang
digunakan untuk aktivitas hidup pascapanennya. Setelah panen, sebagian besar
aktivitas fotosintesis yang dilakukan saat masih melekat pada tanaman induknya
berkurang atau secara total tidak dapat dilakukan. Saat tersebut mulailah
penggunaan substrat cadangan yang ada di dalam tubuh bagian tanaman yang
dipanen untuk aktivitas respirasinya. Pada saat substrat mulai terbatas maka
terjadilah kemunduran mutu dan kesegaran atau proses pelayuan dengan cepat.
Cara penanganan yang
tepat untuk mengurangi proses metabolisme setelah panen yang senantiasa
menimbulkan penurunan mutu yang menyebabkan mengurangnya minat konsumen atas
produk tersebut yaitu dengan metode pengeringan. Pada prinsipnya semakin cepat
laju respirasi, maka semakin cepat pula laju kemunduran mutu dan kesegaran.
Untuk itu, dilakukan metode yang tepat untuk pengeringan produk pasca panen
melalui praktikum yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Maret 2011 ini.
B.
TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
kadar air dari beberapa produk pasca panen yang di perdagangkan dalam kondisi
kering
2. Membandingkan
kadar air antara produk segar dan produk kering dari spesies tanaman yang sama
3. Membandingkan
daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies tanaman yang sama
C.
METODE
a.
Bahan
dan Alat
Bahan:
1. Biji
jagung kering dan basah
2. Gabah
kering dan basah
3. Biji
kedelai kering dan basah
4. Kacang
tanah kering dan basah
Alat:
1. Alat
Pengukur kadar air ( moistur taster )
2. Kantong
plastik transparan ukuran 2 ons
3. Karet
gelang
4. Kertas
label
b.
Waktu
Pelaksanaan
Pelaksanaan praktikum dilakukan
pada tanggal 22 maret 2011 pukul jam 07.00 pagi. Di laksanakan di ruang
seminar, di tempat lab agronomi.
c.
Prosedur
Kerja
Pengukuran
kadar air
1. Siapkan
produk pasca panen segar dan kering untuk gabah, kedelai, kacang tanah, dan
jagung
2. Ukur
kadar air dari produk pasca panen tersebutdengan alat pengukur kadar air
3. Buatlah
perbandingan kadar airnya dengan grafik batang
Perbandingan
kadar air produk basah dan kering
1. Siapkan
produk pasca panen yang kering dan segar untuk gabah, kedelai, kacang tanah,
dan jagung
2. Masukkan
produk keringdan segar dalam kantong plastik transparanyang berbeda
3. Berilah
label pada kantog plastiknya. Label memuat nama produk, nama mahasiswa, NIM,
dan tanggal
4. Simpan
produk tersebut di laboratorium selama lima hari
5. Lakukan
pengamatan pada produk tersebut
D.
HASIL
PENGAMATAN
Pengukuran
kadar air
Jenis
produk
|
Hasil
pengukuran
|
|
basah
|
kering
|
|
gabah
|
29,7
|
13,7
|
jagung
|
30
|
13,2
|
Kacang
tanah
|
29,5
|
14,2
|
kedelai
|
19,3
|
13,1
|
Grafik
perbandingan kadar air
E.
PEMBAHASAN
Pengeringan merupakan
usaha untuk menurunkan kadar air sampai batas tertentu sehingga reaksi biologis
terhenti dan mikrorganisme serta serangga tidak bisa hidup di dalamnya. Reaksi biologis
tersebut salah satunya adalah respirasi. Kadar air yang tinggi menyebabkan
suatu kekuatan respirasi suatu produk hortikultura menjadi lebih besar. Laju
respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk untuk daya simpan buah sesudah
dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran jalannya laju
metabolisme, oleh karena itu sering dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi
daya simpan buah.
Mikroorganisme
pembusuk pada pascapanen buah dan sayuran umumnya disebabkan oleh jamur dan
bakteri. Infeksi awal oleh mikroorganisme tersebut dapat terjadi selama
pertumbuhan dan perkembangan produk tersebut dikebun (disebut sebagai infeksi
laten). Infeksi sering terjadi akibat adanya kerusakan mekanis selama operasi
pemanenan, atau melalui kerusakan fisiologis akibat dari kondisi penyimpanan
yang tidak baik. Pembusukan pada buah-buahan umumnya sebagai akibat infeksi
jamur sedangkan pada sayur-sayuran lebih banyak diakibatkan oleh bakteri. Hal
ini disebabkan oleh keasaman buah yang tinggi (pH kurang dari 4.5) dibandingkan
dengan sayuran yang keasamannya umumnya rendah (pH lebih besar dari 5.0).
Dengan pengeringan, mikroorganisme yang bersifat menurunkan kualitas produk
hortikultura menjadi tertekan inensitasnya, dan sifat produk itu sendiri dapat
bertahan lebih lama.
Proses pengeringan terbagi menjadi 3 kategori :
1.
Pengeringan udara atau pengeringan
langsung dibawah tekanan atmosfir
Pengeringan ini memanfaatkan udara bebas di atmosfir
2.
Pengeringan hampa udara
Keuntungan dalam pengeringan ini didasarkan dengan
kenyataan penguapan air terjadi lebih cepat di bawah tekanan rendah daripada di
bawah tekanan tinggi.
3.
Pengeringan beku
Pengeringan beku adalah sebuah proses yang memberikan
kualitas bahan yang baik dari segi kestabilitas aroma, warna, dan kemampuan
rehidrasi. Pengeringan ini didasarkan proses sublimisasi yang berada di
temperature 0o celcius dan tekanan 613 Pascal.
Metode Pengeringan:
1.
Pengeringan alami.
Pengeringan
alami terdiri dari:.
a.
Sun Drying
Pengeringan
dengan menggunakan sinar matahari sebaiknya dilakukan di tempat yang udaranya
kering dan suhunya lebih dari 100o Fahrenheit. Pengeringan dengan
metode ini memerlukan waktu 3-4 hari. Untuk kualitas yang lebih baik, setelah
pengeringan, panaskan bahan di oven dengan suhu 175 o Fahrenheit
selama 10-15 menit untuk menghilangkan telur serangga dan kotoran lainnya
b.
Air Drying
Pengeringan
dengan udara berbeda dengan pengeringan dengan menggunakan sinar matahari.
Pengeringan ini dilakukan dengan cara menggantung bahan di tempat udara kering
berhembus. Misalnya di beranda atau di daun jendela. Bahan yang biasa
dikeringkan dengan metode ini adalah kacang-kacangan.
·
Kelebihan Pengeringan Alami adalah
tidak memerlukan keahlian dan peralatan khusus, serta biayanya lebih murah.
·
Kelemahan Pengeringan Alami adalah
membutuhkan lahan yang luas, sangat tergantung pada cuaca, dan sanitasi hygiene
sulit dikendalikan.
- Pengeringan
Buatan
Pengeringan
buatan terdiri dari:
a.
Menggunakan alat Dehidrator
Pengeringan
makanan memerlukan waktu yang lama. Dengan menggunakan alat dehydrator, makanan
akan kering dalam jangka waktu 6-10 jam. Waktu pengeringan tergantung dengan
jenis bahan yang kita gunakan.
b.
Menggunakan oven
Dengan
mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven dapat digunakan sebagai
dehydrator. Waktu yang diperlukan adalah sekitar 5-12 jam. Lebih lama dari
dehydrator biasa. Agar bahan menjadi kering, temperature oven harus di atas 140o
derajat Fahrenheit.
·
Kelebihan Pengeringan Buatan adalah suhu
dan kecepatan proses pengeringan dapat diatur seuai keinginan, tidak
terpengaruh cuaca, sanitisi dan higiene dapat dikendalikan.
·
Kelemahan Pengeringan Buatan adalah
memerlukan keterampilan dan peralatan khusus, serta biaya lebih tinggi
dibanding pengeringan alami.
Praktikan telah melakukan 2 kegiatan pada acara pengeringan produk pasca
panen ini. Kegiatan yang pertama adalah pengukuran kadar air beberapa komoditas
hortikultura. Komoditas tersebut adalah jagung, kedelai, kacang tanah, dan
gabah. Masing-masing komoditas ada 2 jenis, yaitu jenis kering dan jenis basah.
Praktikan mengukur kadar air komoditas tersebut menggunakan alat moisture
meter. Cara penggunaan alat ini relatif
mudah, tetapi harus teliti dalam penggunaannya. Langkah awal dalam
penggunaan alat ini adalah pastikan alat dalam keadaan ON. Selanjutnya pilih
komoditas yang akan diukur kadar air nya. Lalu, masukkan maksimal 2 biji produk
ke dalam lubang yang berada di bagian bawah alat, lalu tutup dengan hati-hati usahakan
samapi pecah, tetapi jangan juga terlalu dalam, karena dapat merusak alat,
karena tekanan yang ditimbulkan terlalu tinggi. Berikutnya pilih tombol tertentu
untuk masing-masing komoditas. Misal, praktikan mengukur kadar air jagung yang
basah, maka pilih tombol wet, tunggu beberapa menit, lalu muncul angka pada
layar. Itulah besar kadar air yang terkandung.
Hasil dari penghitungan kadar air dari komoditas yang telah disebutkan di
atas adalah jagung, kedelai, dan kacang tanah yang basah mempunyai kadar air
yang tertinggi, yaitu mencapai 30. Sedangkan pada gabah yang basah hanya
mencapai 19,3. Untuk komoditas yang kering, masing-masing memiliki angka yang
tidak jauh berbeda, yaitu berkisar 13 – 14. Dari angka tersebut, dapat
dikatakan kadar air komoditas yang basah lebih tinggi daripada komoditas yang
kering. Hal yang menimbulkan sutu pemikiran ulang adalah angka kadar air gabah
kering yang jauh lebih kecil daripada produk yang lainnya. Berdasarkan
pengamatan, gabah kering mempunyai kandungan kulit yang tipis, sangat kering,dan
berukuran lebih kecil dari pada produk yang lainnya. Selain itu, gabah dapat
dikategorikan sebagai jaringan yang sudah tua, sedangkan jagung, kedelai, dan
kacang tanah mempunyai jaringan yang lebih muda, maka dari itulah gabah basah
mempunyai kadar air yang terendah.
Pada kegiatan 2, praktikan mengamati tentang perbandingan daya simpan produk
basah dan produk kering. Sama persis dengan kegiatan 1, kami menggunakan jagung,
kedelai, kacang tanah, dan gabah yang kesemuanya terdiri dari jenis basah dan
kering. Kami melakukan pengamatan selama 5 hari, yaitu dimulai pada tanggal 23
Maret 2011 sampai 27 maret 2011. Indikator yang diamati adalah warna, bentu,
penampilan, bau, dan kontaminasi.
Pada pengamatan pertama, komoditas yang lebih menonjol mengalami perubahan
adalah jagung. Baik yang basah maupun yang kering, terutama pada jagung yang
basah. Jagung basah pada hari pertama sudah menunjukkan gejala terserang jamur.
Sedangkan pada komoditas yang lain belum mengalami kontaminasi. Untuk yang
kering, jagung sudah mengalami pengerutan/keriput. Hal yang demikian dapat
disebabkan karena adanya suatu penurunan pelapis alami karena proses pembasahan
jagung, yang menyebabkan jamur tumbuh pada jagung yang basah.
Untuk indikator warna, sampai pengamatan terakhir menglami perubahan yang
signifikan adalah pada komoditas kedelai kering. Pada pengmatan pertama,
kedelai memiliki warna coklat krem. Tetapi dalam 2 hari, berubah menjadi
coklat, dan pada hari terakhir berubah menjadi krem. Yang lebih parah adalah
indikator penampilan pada kacang tanah yang basah. Pada mulanya penampilan
kacang tanah basah adalah segar, akan tetapi pada pengamatan ke 3 sudah
berkecambah, dan terus berkembang sampai pada akhirnya pengamatan ke 5. Tetapi
dalam masalah kontaminasi, kacang tanah lah yang juara. Baik pada jenis yang
basah maupun yang kering, tidak terjadi gejala maupun tanda yang menunjukan ada
nya mikroba yang tumbuh.
Dalam perbandingan antara produk basah dan kering, masalah yang menonjol
adalah adanya kontaminasi yang lebih besar pada komoditas yang basah. Komoditas
yang basah menimbulkan lingkungan bagi mikroba yang merugikan, terutama jamur
dapat tumbuh dengan pesat. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengamatan sampai
pada hari terakhir jagung, kedelai, dan padi yang basah terdapat tanada
kontaminan. Sedangkan semua komoditas yang kering tidak ada kontaminasi yang
terlihat.
F.KESIMPULAN
1. Kadar
air dari produk yang basah lebih tinggi daripada produk yang kering.
2. Produk
yang basah, kadar air tertinggi adalah kedelai, sedangkan yang terendah adalah
gabah. Untuk kadar air komoditas kering, rata-rata menunjukkan angka yang sama
yaitu 13.
3. Daya
simpan produk yang kering lebih lama daripada produk basah.
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah,
I.U., S. Saenong, B. Abidin, Suarni, dan Y. Sinuseng. 2006. Proses
pascapanen
untuk menunjang perbaikan produk biji jagung berskala industri dan ekspor. Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Maros. p. 1-15.
Handerson,
S.M and R.L. Perry. 1982. Agricultural
process engineering. Third
edition.
The AVI Publishing Company Inc., Westport Connecticut.
Pantastico,
E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
LAPORAN
PRAKTIKUM
FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
ACARA 2
PEMATANGAN BUAH
OLEH
NAMA : NANANG YULIANTO
NIM : A1L008058
KELAS : B
ROMBONGAN : 10
LABORATORIUM
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JENDRAL SOEDIRMAN
APRIL 2011
Nama
acara praktikum : PEMATANGAN
BUAH
Nama
mahasiswa : NANANG YULIANTO
NIM :
A1L008058
Kelas : B
Rombongan : 10
A. PENDAHULUAN
Dalam
budidaya pertanian, hal-hal sedikit apapun yang menyangkut produktivitas harus
selalu diperhatikan, Khususnya pada komoditi buah-buahan yang berhubungan
dengan penanganan pasca panen. Pada buah-buahan, untuk melakukan suatu metode
pasca panen yang baik harus diawali dengan proses pemanenan yang terarah. Mutu
yang baik, diperoleh bila pemanenan hasilnya dilakukan pada tingkat kemasakan
yang tepat. Buah-buahan yang diambil pada waktu yang belum saatnya akan
menumbulkan mutu dan pematangan yang salah, begitu pula jika pemungutan
buah-buahan yang tertunda dapat mengakibatkan pembusukan.
Seiring dengan perubahan tingkat
ketuaan dan kematangan, pada umumnya buah-buahan mengalami serangkaian
perubahan komposisi kimia maupun fisiknya. Rangkaian perubahan tersebut
mempunyai implikasi yang luas terhadap metabolismedalam jaringan tanaman
tersebut. Diantaranya yaitu perubahan kandungan asam-asam organik, gula dan
karbohidrat lainnya. Perubahan tingakat keasaman dalam jaringan juga akan
mempengaruhi aktifitas beberapa enzim diantaranya adalah enzim-enzim pektinase
yang mampu mengkatalis degradasi protopektinyang tidak larut menjadi substansi
pectin yang larut. Perubahan komposisi substansi pektin ini akan mempengaruhi
kekerasan buah-buahan.
B. TUJUAN
Praktikum
ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
dapat tidaknya pematangan buah dipacu dengan gas pematangan buah
2. Membandingkan
kecepatan pematangan buah secara alami dan secara dipacu dengan gas pematangan
buah
3. Membandingkan
mutu buah dari buah yang dimatangkan secara alami dan secara dipacu.
C. METODE
a. Bahan
dan Alat
Bahan:
1. Buah
pisang matang dan mentah
2. Kalsium
karbida (karbit)
Alat:
1. Ember
plastik bertutup
2. Kain
3. Kertas
koran
4. Karet
gelang
5. Kertas
label
b. Waktu
Pelaksanaan
Pelaksanaan praktikum pada tanggal 23 maret
2011 dilakukan pukul jam 07.00 pagi. Di laksanakan di ruang seminar, di tempat
lab agronomi.
c. Prosedur
Kerja
1. Siapkan
alat dan bahan yang akan digunakan
2. Untuk
setiap kelompok gunakan 3 ember plastik, 3 sisir pisang, dua buah pisang
matang, dan 1 on karbit
3. Berilah
label pada ketiga ember tersebut. Ember pertama beri label PA (pematangan
alami), ember kedua PPM (pematangan
pisang masak), dan ember ketiga PK (pisang karbit)
4. Masukan
kertas koran
E.PEMBAHASAN
Dalam istilah sehari-hari pada buah-buahan kita kenal
menjadi 2 macam istialah yang sulit dibedakan, ialah pematangan atau maturity
yang berarti bahwa buah tersebut menjadi matang atau tua yang kadang-kadang
belum bias dimakan karena rasanya yang belum enak dan istilah ripening atau
pemasakan, dimana buah yang sudah baik untuk dimakan yang mempunyai rasa enak
(Afandi, 1984).
Etilen
adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas.
Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam
proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian. Etilen adalah hormon
tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin.
Dalam keadaan normal, etilen akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat
sederhana sekali. Di alam etilen akan berperan apabila terjadi perubahan secara
fisiologis pada suatu tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan
buah dalam fase klimaterik.
Klimaterik
merupakan suatu fase yang banyak sekali perubahan yang berlangsung. Klimaterik
juga diartikan sebagai suatu keadaan „auto stimulation“ dalam buah sehingga
buah menjadi matang yang disertai dengan adanya peningkatan proses respirasi.
Klimaterik merupakan fase peralihan dari proses pertumbuhan menjadi layu,
meningkatnya respirasi tergantung pada jumlah etilen yang dihasilkan serta
meningkatnya sintesis protein dan RNA (Heddy, 1989). Dapat disimpulkan bahwa
klimaterik adalah suatu periode mendadak yang unik bagi buah tertentu dimana
selama proses itu terjadi pembuatan etilen disertai dengan dimulainya proses
pematangan buah, buah menunjukkan peningkatan CO2 yang mendadak selama
pematangan buah, sehingga disebut buah klimaterik. Bila pola respirasi berbeda
karena setelah CO2 dihasilkan tidak meningkat tetapi turun secara perlahan,
buah tersebut digolongkan non klimaterik. Berdasarkan sifat klimakteriknya,
proses klimakterik dalam buah dapat dibagi dalam 3 tahap yaitu klimakterik
menaik, puncak klimakterik dan klimakterik menurun. Buah-buah yang mengalami
proses klimakterik diantaranya yaitu tomat, alpokat, mangga, pepaya, peach dan
pear karena buah-buahan tersebut menunjukkan adanya peningkatan CO2 yang
mendadak selama pematangan buah. Buah-buah yang mengalami pola berbeda dengan
pola diatas diantaranya yaitu ketimun, anggur, limau, semangka, jeruk, nenas
dan arbei (Kusumo, 1990).
Pematangan
buah yang tepat dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas produk yang akan
dipasarkan. Berikut adalah beberapa cara pematangan buah, khususnya pisang yang
menjadi bahan utama dalam kajian praktikum ini ;
1.Pemeraman dengan daun tanaman
Petani memiliki cara pemeraman buah dengan menutup buah dengan daun
dari beberapa jenis tumbuhan. Beberapa daun yang memiliki kemampuan merangsang
pematangan buah adalah daun gamal atau Gliricidia sapium dan Albizzia
fulcata (Murtiningsih, et al., 1993). Daun Gliricidia biasa
digunakan oleh petani di pedesaan Filipina untuk mempercepat pematangan buah
pisang, sementara para petani di Sukabumi banyak menggunakan daun Albizzia.
Jika akan menggunakan daun tersebut, perlu dipetik satu hari sebelumnya, karena
pada saat tersebut produksi etilen tertinggi dengan periode waktu yang lama (24-48
jam), masing masing 0,73-0,89 ppm pada daun Albizzia dan 0,20-0,24 ppm
pada Gliricidia (Murtiningsih, et al., 1993). Gambar 18 menunjukkan
bahwa produksi etilen pisang Ambon dapat dipacu dengan daun Gliricidia mencapai
puncak pada hari ke 3 sampai 5, sementara buah pisang tanpa pemeraman baru
mencapai puncak produksi etilen hari ke 7. Penggunaan daun gamal (Gliricidia
sapium), guna mempercepat kematangan buah pisang Raja Sere dan Emas yang
dilakukan Yulianingsih dan Dasuki (1989), menyatakan bahwa daun gamal muda
menghasilkan etilen cukup banyak dibandingkan daun tua, penggunaan daun
sejumlah 20-40% dari berat buah yang diperam dengan lama pemeraman 24-48 jam
dapat mempercepat pematangan sekitar 2-4 hari (diperam: matang dalam 3-4 hari,
tanpa diperam: matang antara 6-7 hari). Pematangan yang lebih cepat tersebut
ditunjukkan oleh perubahan warna kulit dari hijau menjadi kuning, perubahan
tingkat kekerasan, penurunan kadar pati dan peningkatan kandungan gula.
Perubahan tersebut tidak signifikan antara penggunaan daun sebanyak 20 dan 40%
untukpemeraman buah pisang Raja Sere dan pisang Emas.
Berdasarkan uraian di atas, pemeraman menggunakan daun, cukup dengan
menggunakan 10% dari berat buah pisangnya. Daun dapat diletakkan sebagai
bantalan pada dasar kemasan buah, kemudian diletakkan pisang, daun, dan pisang
secara berselang-seling, kemudian ditutup dan dibiarkan 36 jam. Setelah waktu
tersebut, buah dapat dikeluarkan dan dibiarkan matang sempurna. Penggunaan
jumlah daun yang semakin banyak makin cepat buah menjadi matang dan akibatnya buah
juga cepat rontok. Karena buah terpacu cepat matang, maka respirasi berjalan
cepat, karbohidrat yang dirombak juga banyak dan menghasilkan air dan gas
karbondioksida sehingga menyebabkan susut bobotnya cukup besar.
2.Pemeraman
dengan ethrel
Ethrel atau ethepon adalah suatu
larutan yang mengandung bahan aktif 2 chloro ethyl phosponic acid yang
dapat menghasilkan etilen secara langsung pada jaringan tanaman. Dengan
timbulnya etilen maka kematangan buah dapat dipercepat. Pemeraman
menggunakan ethrel dilakukan Suyanti dan Rani (1989) pada pisang Raja
Sere. Penggunaan ethrel (500, 1000, dan 1500) ppm, mempercepat buah
pisang menjadi matang pada hari ke-4, sedangkan kontrol menjadi matang
pada hari ke-10. Semakin tinggi konsentrasi ethrel yang digunakan
perubahan warna dan pelunakan buah semakin cepat, dan pemacuan tersebut
mempercepat penurunan kadar pati diiringi dengan peningkatan kadar gula
dan kadar asamnya. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwapenggunaan ethrel
dapat menyeragamkan kematangan pada pisang Raja Sere yang seringkali tidak
merata. Dalam penerapannya, buah dicelup dalam larutan ethrel 1000 ppm selama
30 detik (1 ml dalam 1 liter air bersih), dan menjadi matang penuh dalam waktu
3-4 hari.
3.Pemeraman dengan kalsium karbida
Para pedagang pengumpul sering menggunakan batu karbit atau
kalsium karbida untuk mempercepat pematangan buah pisang, karena mudah
diperoleh, murah dan praktis. Caranya, batu karbit sebanyak 0,05% dari berat
buah pisang, dibungkus dengan kertas koran dan dipercikkan air. Karbit kemudian
diletakkan pada bagian bawah kemasan, kemudian diletakkan buah pisang dan
ditutup rapat. Kondisi demikian dibiarkan selama 36 jam dalam ruangan dengan
sirkulasi udara yang baik. Setelah waktu stimulasi tercapai, buah dikeluarkan
dan diatur pada rak-rak untuk memberi kesempatan matang sempurna. Penelitian
yang dilakukan Murtiningsih, et al. (1993), memperlihatkan bahwa buah
pisang Ambon yang mendapat stimulasi dengan kalsium karbida lebih cepat matang,
ditunjukkan dengan puncak produksi etilen yang telah tercapai pada hari ke-3 sampai
hari ke-4, sementara pada buah tanpa perlakuan baru mencapai puncak pada hari
ke-7. Penggunaan dosis kalsium karbida hingga 0,20% dari berat buah tidak
memberikan pengaruh pada kecepatan matangnya maupun perubahan total padatan
terlarut dan total asamnya. Salah satu keuntungan pemeraman dengan kalsium
karbida adalah dapat diterapkan bersamaan pengemasan dan selama pengiriman yang
tidak melebihi 36 jam. Sampai di tempat tujuan, buah pisang dikeluarkan dari
kemasan dan diangin-anginkan paling tidak satu hari, baru dapat dipasarkan dan
dikonsumsi. Namun, kelemahannya, karena buah cepat matang maka buah pisang
mudah rontok dan cepat rusak ditandai dengan bintik-bintik coklat pada
permukaan kulit.
4.Pemeraman dengan gas etilen atau
asetilen
Pemeraman pisang dapat pula dilakukan menggunakan gas etilen atau asetilen.
Asetilen adalah gas yang sering digunakan untuk keperluan mengelas. Penggunaan
gas dalam pemeraman lebih baik dibanding dengan karbit. Penggunaan gas lebih
efektif bila buah yang diperam mengandung enzim oksidase, karena gas berfungsi
sebagai koenzim. Disamping itu, gas berfungsi untuk mengubah warna kulit buah
dari hijau menjadi kuning dan mempercepat kematangan buah. Buah pisang dalam
bentuk tandan atau sisir diatur di rak yang diberi tutup plastik atau dalam
ruang tertutup sehingga udara tidak dapat keluar. Gas asetilen atau etilen
dialirkan ke dalam ruangan, jumlahnya tergantung ruang pemeraman yang
digunakan. Untuk ruangan yang penuh, dianjurkan banyaknya gas yang dialirkan
sebanyak 1/10 cuft untuk setiap isi 1000 cuft ruangan. Pemberian gas sebanyak
satu kali sehari selama 2 hari berturut-turut. Gas dialirkan perlahan-lahan
melewati pipa dengan lubang kecil di bagian belakang. Etilen dan gas asetilen
tidak berwarna, agak berbau dan mudah terdeteksi pada konsentrasi rendah, tidak
beracun untuk manusia dan hewan selama kepekatannya dibawah 1000 ppm (0,1%).
Campuran udara dan gas etilen lebih dari 27.000 ppm (2,7%) dapat meledak.
Karena itu, harus diperhatikan benar-benar petunjuk penggunaannya. Bila gas
etilen kurang mencukupi, maka pematangan tidak merata dan warna kulit buah
pucat dan ujung buah tetap berwarna hijau. Hal-hal penting yang harus
diperhatikan pada proses pemeraman buah yaitu kelembaban dan suhu diatur agar
mendekati titik jenuh. Kelembaban ini dipertahankan sampai terjadi perubahan
warna pada kulit buah pisang. Pemeraman yang baik dilakukan pada suhu antara
17,5-20oC dengan kelembaban 75-85%.
Pada saat ini belum ada bukti yang menunjukkan bahwa C2H4 sendiri
merupakan bagian reaksi biokimia yang sudah diketahui, atau bekerja sebagai
koenzim, pemisah (uncoupler), atau ko-faktor. Pada tingkat molekul C2H4 dapat
terikat pada ion logam pada enzim tertentu, atau ikut serta dalam sistem pengangkutan
elektron yang khusus. Pada tingkat sel, dikira bahwa C2H4 menambah
permeabilitas membran sel maupun membran-membran bagian-bagian sub-selular,
sehingga dengan demikian membuat substrat lebih mudah dapat dicapai oleh
enzim-enzim yang bersangkutan. Karena struktur kimianya, C2H4 mudah larut dalam
lemak. Tetapi dalam percobaan yang manapun C2H4 belum pernah ditemukan dalam
keadaan terikat pada sisi yang manapun. Jelas bahwa C2H4 merupakan senyawa yang
sangat mobil.
Buah pisang, terutama yang matang, memiliki
beberapa kandungan seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, serat,
beberapa vitamin (A,B1, B2 dan C), zat besi, dan niacin. Kandungan mineralnya
yang menonjol adalah kalium (Wirakusumah, Emma S, 1977).
Zat-zat tersebut sangat diperlukan dalam
tubuh manusia. Bukan itu saja, pisang termasuk buah yang murah-meriah dan mudah
didapat sepanjang tahun. pemasakan yang lebih cepat, yakni menggunakan karbit
(kalsium karbor). Jangankan buah pisang yang umurnya tua, pisang yang umurnya
masih tergolong muda (belum siap panen) pun akan segera matang walau dari sisi
aroma atau rasa kurang nyaman. Dengan karbit, ibu-ibu merasa senang karena
pisangnya cepat matang dengan warna yang sama dengan proses pematangan secara
alami atau matang di pohon. Tetapi, pisang yang matang karena dikarbit cepat
membusuk. Karbit yang sehabis dipakai akanSetelah kulit pisang yang dimatangkan
dengan karbit dijadikan makanan ternak, ternyata berdampak buruk terhadap
kesehatan ternak itu. Ternak
menjadi sakit.
F.KESIMPULAN
1.
Pematangan buah
dapat dipacu dengan gas pematangan buah.
2.
Pematangan buah secara alami lebih lama dari
pada pematangan buah yang dipacu dengan gas pematangan buah.
3.
Mutu buah yang
dimatangkan secara alami lebih tinggi dari pada yang menggunakan karbit.
DAFTAR PUSTAKA
Pantastico,
E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Santoso,
dkk. 1986. Fisiologi dan Teknologi Pasca
Panen Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern Universities Project
: Bogor.
Satuhu, S., Ahmad, S. 2007. PISANG
Budidaya Pengolahan & Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.
LAPORAN
PRAKTIKUM
FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
ACARA 3
TEKNOLOGI PENGEMASAN UNTUK
KOMODITAS HORTIKULTURA
OLEH
NAMA : NANANG YULIANTO
NIM : A1L008058
KELAS : B
ROMBONGAN : 10
LABORATORIUM
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JENDRAL SOEDIRMAN
APRIL 2011
Nama
acara praktikum : TEKNOLOGI
PENGEMASAN UNTUK KOMODITAS
HORTIKULTURA
Nama
mahasiswa : NANANG YULIANTO
NIM :
A1L008058
Kelas : B
Rombongan : 10
A. PENDAHULUAN
Hortikultura
berasal dari kata hortus yang bearti kebun dan colare yang berarti
membudidayakan, maka dapat didefinisikan bahwa horikultura merupakan ilmu yang
mempelajari tentang pembudidayaan tanaman kebun. Untuk isi dari kebun tersebut
dapat berupa bebuahan, sesayuran, tanaman hias, rempah-rempah, apiari (budidaya
lebah). Semua komoditas hortikultura tersebut mempunyai kegunaan yang cukup
vital terhadap keseimbangan kehidupan. Contohnya saja adalah bebuahan dan
sesayuran mengambil peranan penting sebagai sumber gizi, vitamin, mineral,
protein nabati, dan serat kasar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Remah-rempah
seperti kunyit, lengkuas, jahe, temulawak, kunir dapat digunakan sebagai sumber
obat herbal.
Komoditas
hortikultura mempunyai suatu ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki komoditas
pertanian yang lainnya. Beberapa sifat produk hortikultura tersebut antara lain
:
1. Dipanen
dan dimanfaatkan dalam keadaan segar & mudah rusak.
2. Mutu
produk ditentukan oleh kandungan air, bukan bahan kering
3. Sifat
produk melimpah, sehingga perlu penanganan khusus dan mahal dalam transportasi
4. Harga
produk lebih ditentukan dari kualitas
5. Produk
hortikultura tidak hanya dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani saja
tetapi rohani juga.
Meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya buah dan sayuran segar menuntut petani
memberikan penanganan dan menampilkannya dengan baik terkait dengan mutu dan
kesegarannya. Adanya kecenderungan penyimpanan atau penundaan sebelum pemajangan,
menuntut para pekerja yang terlibat pada departemen produk segar cerdas dan
terampil. Untuk dapat menanganinya dengan baik maka penting adanya pemahaman
tentang karakteristik fisiologi, morfologi dan patologi produk pascapanenen
hortikultura. Pemahaman yang baik tentunya harus didukung dengan fasilitas yang
memadai sehingga penanganan dapat dilakukan dengan baik dan seoptimal mungkin.
Produk
hortikultura pada masa yang akan datang mempunyai prospek yang cukup mengundang
selera masyarakat untuk ikut membudidayakan komoditas ini, dikarenakan sumber
gizi semakin tahun akan semakin meningkat, seperti kebutuhan vitamin yang
sebagian besar berasal dari bebuahan, selain itu dalam pemenuhan protin nabati
dan serat yang bermanfaat menanggulangi asam lemak dalam tubuh, sesayuran
sangat mengambil peranan penting. Dalam usaha pemenuhan kebutuhan rohani
seperti keindahan dapat diusahakan dengan membudidayakan tanaman bunga dan
dibentuk seperti sebuah pertamanan.
Berbagai
metode yang tepat untuk mengusahakan produk hortikultura harus ditangani secara
terarah, karena berdasarkan pengalaman dan kondisi yang berkembang selama ini, budidaya
hortikultura ini banyak mengalami hambatan, di antara nya sebagai berikut :
1. Pola
produksi yang tidak kontinyu dan pengusaha bersifat latah menjadikan jatuhnya
harga jual
2. Lokasi
usaha yang terpencar-pencar, sehingga menyulitkan tercapainya efisiensi pada
skala usaha tertentu
3. Indonesia
belum mampu memproduksi sarana produsi myang bersifat khusus, seperti mulsa
plastik, pesetisida sehingga biaya produksi tinggi
4. Kurang
dukungan dari sgi informasi, infrastruktur, dan perbankan
5. Masih
lemahnya sistem kelembagaan di pedesaan yang berakibat berfluktuasinya produksi
maupun harga komoditas.
B. TUJUAN
1.
Agar mahasiswa
dapat membedakan komoditas yang dikemas maupun yang tidak dikemas dari segi
masa kesegaran,estetik dan ekonomis
2.
Agar mahasiswa
dapat mendemosntrasika proses pengemasan suatu komoditas
C. METODE
Bahan dan alat
Bahan
1. Baby
corn,buncis,tomat
2. Sunlight
3. Kalsium
klorida(cacl2) ppm dan 0,75%
Alat
1.
Ember,nampan,
sendok
2.
Cutting board
3.
Strofoam piring
4.
Stretch film plastic/
plastic pembungkus
Waktu
pelaksanaan
Praktikum dilakukan pada hari Selasa, 29
Maret 2011.
Prosedur/cara
kerja
1. Sterilkan
peralaan dan tanagan dengan merendam dalam larutan yang menggandung sun light
selama 15 detik
2. Rendam
sayuran, dibersihkan dalam larutan klorin (200 ppm) selama 20-30 detik
3. Tiriskan
bahan selama 30 detik
4. Rendam
sayuran dalam baskom/ember yang menggandung kalsium (300 ppm) selama 15-30
detik
5. Re-drain
sayuran selama 30 detik
6. Angkat
dan atur sayuran diatas piring styrofroam dan tutup dengan plastic stretch
film/plastic pembungkus
D. HASIL
PENGAMATAN
TERLAMPIR
E. PEMBAHASAN
Pada dasarnya pengemasan adalah melindungi barang
segar dari pengaruh lingkungan (sinar matahari, kelembaban) dan dari
pengaru-pengaruh lain. Pengemasan berfungsi untuk pemuatan
produk pada suatu wadah (containment), perlindungan produk, kegunaan (utility),
dan informasi. Untuk keperluan transportasi, fungsi pengemasan lebih diutamakan
untuk pemuatan dan perlindungan. Sedangkan pengemasan eceran (retail)
lebih dititik – beratkan pada
fungsi
kegunaan dan informasi produk (Peleg, 1985). Buah yang akan diangkut dapat
dikemas menggunakan berbagai jenis kemasan, seperti karung goni, kardus,
keranjang plastik atau bambu, tray dari stirofoam dan plastik film, dan
peti kayu. Disamping itu, terdapat juga jenis kemasan yang khas sentra produksi
buah, misalnya kemasan karung anyaman bambu (sumpit).
Pengemasan dapat mengurangi
kehilangan lembab dan dengan demikian mencegah dehidrasi, terutama bila
digunakan bahan penghalang lengas uap air. Hal ini merupakan keuntungan utama
dari pengemasan untuk konsumsi yang dapat pula memperpanjang umur ketahanan
komoditi yang bersangkutan. Dalam bungkus plastik dapat timbul udara
termodifikasi yang menguntungkan ; ydara yang telah mengalami perubahan itu
menghambat pematangan dan memperpanjang umur simpan hasil komoditi
hortikultura. Pengemasan juga dapat ikut membantu menghindarkan barang dari
tebu atau pasir selama pengangkutan. Produk yang telah dicuci bersih dalam kemasan
senantiasa terlindung dari kontaminan.
Banyak cara yang digunakan dalam
pengemasan ini, salah satunya adalah penggunaan wadah yang beragam, tergantung
pada jenis tanaman, daerah, dan tersedianya material. Wadah-wadah dari kayu
merupakan wadah yang paling kuat dan kokoh, tetapi kekuatannya bergantung pada
tebalnya bahan yang digunakan. Jenis wadah yang digunakan biasanya adalah
peti-peti dan krat-krat kayu. Tapi ada pula yang menggunakan palet. Palet
merupakan semacam anjungan untuk pengepakan, penyimpanan, dan pengiriman
wadah-wadah lain sebagai satu unit muatan.
Kemasan transportasi untuk komoditi
hortikultura, khususnya buah, lebih ditujukan untuk melindungi buah dari
kerusakan yang dapat menurunkan mutu buah, maka aspek teknis menjadi pertimbangan
utama dalam perancangan kemasan tersebut. Aspek teknis perancangan mencakup
pemilihan bahan kemasan, bentuk dan dimensi kemasan, serta uji-uji sifat fisik
dan reologi yang berkaitan dengan aspek tersebut dan tetap mempertimbangkan
sifat-sifat kritis komoditi hortikultura yang mempengaruhi perubahan mutu
komoditi tersebut selama transportasi.
Menurut Maezawa (1990), pengemasan dirancang untuk mengatasi
faktor getaran dan benturan selama transportasi. Pemilihan bahan kemasan juga mengutamakan
bahan yang dapat melindungi produk dari kerusakan fisik selama transportasi.
Kemasan harus mampu menahan beban tumpukan, dampak pemuatan dan pembongkaran
buah dari sarana transportasi, serta getaran dan benturan selama perjalanan
(Waluyo, 1990). Dengan kata lain, kemasan harus mampu menahan beban dan
bersifat kaku (rigid) sehingga tidak mentransfer beban apapun kepada
buah (Hilton, 1993). Dalam merancang kemasan transportasi untuk komoditi
hortikultura perlu diperhatikan persyaratan – persyaratan berikut (Soedibjo, 1972,
diacu dalam Waluyo, 1990) :
1. Kemasan
harus benar – benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi produk.
2. Kemasan
harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan.
3. Permukaan
bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak selama
pengangkutan.
4.
Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil metabolisme
produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga dapat menahan laju
transpirasi dan respirasi dari produk.
5. Bahan
untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan), dan tidak
mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.
6. Kemasan
harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk, bahan kemasan
juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus.
7. Kemasan
harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak – bak alat angkut dengan sistem
pallet (khusus untuk ekspor).
8. Kemasan
harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi.
Pada praktikum yang telah dijalani,
kami menggunakan produk buncis, baby corn, dan tomat sebagai bahan percobaan.
Sebelum mengalami proses pengemasan, praktikan melakukan perendaman terhadap
ketiga produk tadi dengan menggunakan sunlight selama 30 detik. Hal ini
dimaksudkan untuk membunuh semua bakteri yang merugikan bagi produk. Setelah
itu, dilakukan Perendaman lagi kurang lebih selama 10 detik di dalam larutan
kalsium klorida yang telah dicampur dengan air. Tujuan dari perlakuan ini
adalah untuk menghilangkan bau dari sunlight tadi dan mengkesatkan produk
supaya lebih keliatan segar dan merangsang minat konsumen.
Perlakuan yang dilakukan terhadap
buncis, baby corn, dan tomat adalah ada yang dikemas dengan stretch film dan
tidak dikemas, lalu diamkan pada suhu ruangan. Praktikan melakukan pengamatan
selama 3 hari dengan indikator warna , kesegaran, dan kontaminasi. Berdasarkan
tabel pengamatan, produk yang dikemas dan tidak dikemas mengalami perubahan
yang gampir sama. Dalam hal warna, yang tampak mengalami perbaedaan yang
signifikan adalah tomat. Pada yang dikemas warnanya merah dan terdapat beberapa
bagian yang busuk, sedangkan pada yang tidak dikemas, warnanya sudah merah
pudar dan terlihat sangat busuk.Untuk indikator kesegaran, baby corn, tomat
yang dikemas tamapk mengalami perbedaan yang signifikan dengan yang tidak
dikemas, tetapi pada buncis, kesegaran yang tidak dikemas dengan yang dikemas
tidak terlampau terlihat beda. Yang terakhir, pada tomatlah yang paling
menunjukan gejala kontaminan, baik yang dikemas maupun yang tidak dikemas.
F. KESIMPULAN
1.
Dilihat dari
segi kesegaran, estetik, dan ekonomis, komoditas yang dikemas mempunyai
kualitas yang lebih tinggi dari pada komoditas yang tidak dikemas.
2.
Mahasiswa dapat
mendemonstrasikan proses pengemasan komoditas buncis, baby corn, dan tomat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011. Pengemasan Bahan Pangan.
(Online). http://www.smallcrab.com/kesehatan/503-pengemasan-bahan-pangan diakses pada
tanggal 10April 2011 pukul 14.10
WIB.
Pantastico,
E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soekarto, S.T., 1990. Peranan Pengemasan dalam Menunjang Pengembangan Industri, Distribusi
dan Ekspor Produk Pangan di Indonesia. Di dalam : S.Fardiaz dan D.Fardiaz
(ed), Risalah Seminar Pengemasan dan Transportasi dalam Menunjang Pengembangan
Industri, Distribusi dalam Negeri dan Ekspor Pangan : Jakarta
FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
ACARA 4
PENANGANAN KUALITAS PRODUK PASCA
OLEH
NAMA : NANANG YULIANTO
NIM : A1L008058
KELAS : B
ROMBONGAN : 10
LABORATORIUM
AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JENDRAL SOEDIRMAN
APRIL 2011
Nama
acara praktikum : PENANGANAN
KUALITAS PRODUK PASCAPANEN
Nama
mahasiswa : NANANG YULIANTO
NIM :
A1L008058
Kelas : B
Rombongan : 10
A. PENDAHULUAN
Suatu
keadaan yang wajar, bahwa setiap orang menginginkan sesuatu yang maksimal
terhadap apa saja yang dibutuhkan. Segala sesuatu yang sifatnya berkualitas
senantiasa akan dicari orang. Jika dikaitkan dengan produk hortikultura,
sifat-sifat yang diinginkan dari bebuahan dan sesayuran adalah penggunaanya
yang bersifat segar, maka dapat atau tidaknya suatu komoditi diterima oleh
konsumen ditentukan oleh ukuran, daya tarik, dan mutu oranoleptiknya. Keseragaman
dalam ukuran, bentuk, dan komposisi merupakan hal yang esensial dan digunakansebagai
persyaratan untuk bahan mentah.
Ciri
utama pada komoditas hortikultura, yaitu harga produk lebih ditentukan dari
kualitas. Semakin tinggi kualitas, maka semakin besar pula harga jualnya. Maka
dari itu, perlu diketahui indikator apa saja yang mempengaruhi kualitas suatu
komoditas. Kualitas hasil dapat dibagi menjadi 3 golongan utama : inderawi,
tersembunyi, dan kuantitatif. Suatu kualitas yang dapat dinilai dengan
inderanya disebut inderawi, contohnya warna, kilap, ukuran, dan bentuk. Sifat
yang tidak bisa dinilai dengan indera oleh konsumen merupakan sifat
tersembunyi, seperti nilai gizi, adanya zat yang merugikan dan beracun. Yang
terakhir yaitu kuantitatif, disebut juga mutu secara keseluruhan misalnya
rendemen akhir suatu produk hortikultura.
Tindakan
yang terpadu perlu dijalankan agar produk hotikultura senantiasa terus
merangsang minat konsumen. Salah satunya adalah penyimpanan yang efektif agar
umur simpan dapat lebih panjang, menurangi infeksi penyakit, dan mengkondisikan
agar produk selalu tampak segar. Hal ini dapat meningkatkan kualiatas produk,
dan pada akhirnya pemasaran dapat berjalan sevara optimal.
B. TUJUAN
1.
Untuk menentukan dan membuat grade kualitas awal
komoditas setelah panen.
2.
Untuk mengetahui perubahan kualitas komoditas pasca
panen
3.
Yntuk mengidentifikasi kualitas komoditas pasca panen
4.
Untuk mengetahui perlakuan pasca panen yang mampu
mempertahankan kualiatas
C. METODE
1.
Bahan
dan alat
Alat
1. Lemari
pendingin
2.
Stretch film
plastic/ plastic pembungkus
3. Pisau,gunting
Bahan
1.
Buah-buahan :
jeruk,pisang
2.
Sayuran : wortel
pak coy
A.
Waktu
pelaksanaan
Rabu 30 maret 2011 pukul 07.00 WIB
2.
Prosedur/cara
kerja
1. Siapkan
alat dan bahan yang akan digunakan
2. Pilih
beberapa komoditas buah dan sayur yang akan diidentifikasi dan diperlakukan
dari kelompok yang segar dan tidak segar
3. Lakukan
identifikasi awal berdasarkan cara visual, cara fisik,cara mekanis dan cara
kimia, dan masukkan dalam kelas atau grade tertentu
4. Buatlah
kelas atau grade tertentu
5. Perlakukan
komoditas tersebut dalam ruang terbuka,dalam kemasan,dan pada suhu dinggin, dan
amati perkembangan kualitasnya
D. HASIL
PENGAMATAN
TERLAMPIR
E. PEMBAHASAN
Kualitas
produk yang baik adalah penilaian dari komoditas itu sendiri dan berdasarkan
dari selera konsumen yang puas akan sifat-sifat yang dimiliki komoditas
tersebut. Sifat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Sifat
inderawi
a. Warna
Warna
meningkatkan daya tarik bahan mentah, dan dalam kebangnyakan kasus digunakan
sebagai petunjuk kemasakan. Warna juga berhubungan dengan rasa, bau tekstur,
nilai gizi, dan keutuhan. Buah yang berwarna harus dipungut pada tingkat tua
benar, dan telah berwarna penuh yang merata. Pimen yang terdapat pada buah
dibagi menjadi 3 golongan besar ; karotenoid, klorofil, dan antosianin.
b. Ukuran
dan bentuk
Pentingnya
ukuran dan bentuk bahan mentah karena untuk tanaman tertentu berbanding
langsung dengan hasilnya tiap acre. Variasi ukuran yang beragam bagi
masing-masing komoditi, sangat berpengaruh pada pemasaran di tingkat konsumen. Yang
perlu diingat variasi bahan makanan yang dapat dimanfaatkan dan sedikit limbah
sebagai akibat pengupasan harus segera direalisasikan. Ukuran yang besar tidak
langsung juga menjadikan produk tersebut berkualitas baik. Rendemen yang yang
sedikit inilah yang mencap bahwa kualitas produk tersebut adalah baik.
c. Tekstur
Sifat
tekstur menyangkut rasa bila diraba, yang menentukan ketegaran, kelunakan,
kandungan cairan buah, berpasir, berserabut, dan bertepung bagi buah atau
sayur. Buah-buahan dan sayuran untuk diolah harus cukup tegar untuk dapat
menahan pemanasan yang diperlukan sebagai perlakuan.
d. Bau
dan rasa
Bau
dan rasa merupakan kualitas yang sukar diukur menggunakan alat dan kebanyakan
masih dinilai dengan cara subyekytif seperti panel rasa atau profil. Bau dan
rasa yang baik yaitu sesuai dengan umur kematangan serta jika dicicipi,
konsumen akan berminat kembali untu mengkonsumsi produk tersebut.
e. Cacat-cacat
Adanya
cacat dapat dilihat secara visual. Cacat dapat menurunkan kualitas produk dan
turun harganya di tingkat konsumen. Sejumlah cacat yang sering terjadi pada
komoditas horti adalah cacat yang diebabkan luka oleh serangga, adanya
kontaminan sehingga produk tampak membusuk, adanya bercak hitam, dan masih
banyak lagi. Cacat dapat pula terjadi pada saat penanganan pasca panen. Misal
pada proses Pengemasan yang kurang pas menjadikan kememaran pada saat
pengangkutan dan mengganggu reaksi biokimia yang normal seperti, perubahan
warna, bau, dan rasa yang tidak diinginkan, serta pembusuka yang semakin cepat.
2. Sifat
tersembunyi
a. Nilai
gizi
Kandungan
zat-zat makanan meningkat menjelang kemasakannya, meskipun perbandingannya
selalu berubah. Nilai karbohidrat yang tinggi, mineral yang cukup, serta serat
nabati yang diperlukan untuk mencerna bahan lemak yang jenuh bagi badan.
Vitamin yang tinggi juga banyak terdapat pada buah.
b. Peracunan
Berbagai senyawa
kimia yang digunakan dalam proses produksi maupun pada proses pasca panen
senyawanya masih tersisa pada produk yang menjadikan rasa pahit atau apek pada
produk-produk tertentu.
Produk
sangat ringkih membutuhkan kondisi penyimpanan dingin terkendali, penanganan
hati-hati, turnover yang cepat serta frekwensi order biasanya lebih
sering dengan jumlah relatif sedikit. Sedangkan frekwensi order produk dengan
keringkihan moderat dan rendah biasanya lebih jarang namun dengan jumlah lebih
banyak pada setiap kali order. Hal ini dapat dilakukan karena masa simpannya
lebih panjang dibandingkan dengan produk segar sangat ringkih.
Cara yang paling baik untuk memperlambat
kemunduran mutu akibat aktivitas metabolisme dan kerusakan lainnya adalah
dengan mendinginkan produk sampai batas minimum suhu dingin dimana produk
tersebut tidak mengalami kerusakan (chilling injury). Perlu diketahui
bahwa kepekaan produk segar terhadap derajat rendahnya suhu adalah
berbeda-beda. Kebanyakan buah-buahan tropika yang disimpan di bawah suhu 10oC
sangat sensitif terhadap kerusakan dingin, sedangkan sayuran daun umumnya
toleran terhadap suhu rendah sehingga sering disimpan sampai mendekati suhu
0oC.
Penyimpan produk segar di dalam kamar berpendingin
membutuhkan pengaturan penempatan yang memungkinkan adanya sirkulasi udara
antar tumpukan bahan dengan baik. Kamar penyimpanan dingin tidaklah dirancang
untuk mendinginkan produk buah dan sayuran namun untuk mempertahankan suhu
produk yang telah didinginkan sebelumnya. Untuk itu pendinginan cepat sebaiknya
dilakukan sebelum produk tersebut disimpan dalam ruang berpendingin. Tujuan
dari pendinginan cepat adalah untuk menghilangkan panas lapang yang tersimpan
di dalam produk akibat sengatan matahari bersama panas yang dihasilkan dari
aktivitas respirasi.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Mutu Produk
Tidak saja keadaan pasca panen yang mempengaruhi kualitas atau mutu
produk panenan tetapi termasuk pula faktor pra panen. Berikut adalah beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas komoditi hortikultura panenan,
1. Faktor
genetik
Pemilihan atau seleksi kultivar bagi tanaman yang diperbanyak dengan
benih (biji) khususnya tanaman semusim. Sedangkan bagi tanaman tahunan biasanya
sangat tergantung pada pemilihan jenis batang bawang dalam pengadaan atau
persiapan bibit.
2. Faktor lingkungan pra panen
a. Unsur iklim,
seperti :
1.
Suhu,
2.
Cahaya,
3.
Angin, Curah hujan, dan
4.
Polutan
b. Kondisi
budidaya (bercocok tanam), seperti :
Jenis tanah,
1. Penyediaan hara dan air,
2. Pemakaian mulsa,
3. Pemangkasan (pruning),
4. Penjarangan buah dan atau bunga (thinning), dan
5.
Penggunaan bahan kimiawi
3. Pemanenan Aspek
yang merupakan faktor penting terkait dengan pemanenan adalah :
a. Teknik panen,
b. Tingkat kematangan dan atau kemasakan, dan
c. Perkembangan
fisiologis tanaman.
4. Perlakuan
pasca panen
a. Metode penanganan
b. Periode antara saat panen dengan saat
dikonsumsi, dan
c. Faktor
lingkungan, seperti : Suhu, Kelembaban relatif, dan Komponen atmosfir.
5.
Interaksi antara berbagai faktor yang dijelaskan di atas.
F. KESIMPULAN
1.
Kualitas komoditas pasca panen yang disimpan pasa suhu
dingin terlihat lebih tinggi dari pada yang disimp;an si kemasan dan suhu kamar
2.
Dari keempat komoditas yang siamati yaitu jeru,
pidang, wortel dan sawi, wortel lah yang mempunyai ketahanan simpan lebih lama,
sedangkan sawi merupakan yang terendah dalam umr simpannya.
3.
Perlakuan pengemasan dan penyimpanan sangat berpengaruh
pada kualitas produk pasca panen.
DAFTAR
PUSTAKA
Pantastico,
E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Santoso,
dkk. 1986. Fisiologi dan Teknologi Pasca
Panen Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern Universities
Project : Bogor.
Utama,
I. 2003. Praktik-praktik Penanganan Pasca
Panen Skala Kecil : Manual untuk Produk Hortikultura (Edisi ke 4).
(Online). http://postharvest.ucdavis.edu/datastorefiles/234-1198.pdf diakses pada tanggal 12
April 2011 pukul 09.30 WIB.